Cerpen Rudi Al-Farisi
Seorang sahabat, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD), selama beberapa tahun itu saya mengenalnya, sangat mengenalnya, Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya, termasuk saya’. dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat sholehah, yang patuh pada kedua orang tuanya.
Tetapi Ranu, Don Juan yang satu ini juga sangat menyukai Mimi, track recordnya tidak menggoyahkannya untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran.
Setiap pagi hari, petugas rutin kantor pos pasti sudah nangkring di sudut rumah besar di ujung gang kampung kami, (rumah Mimi).
Menunggu pemilik rumah membukakan pintu demi dilewati selembar surat warna merah jambu milik Ranu untuk sang pujaan hatinya.
Sedang Mimi yang semula tak bergeming, menjadi kian berbunga-bunga diserang ribuan rayuan gombal milik don juan.
Merekapun pacaran dari mulai kelas 1 SMP bayangkan, hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus teman yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut. (walaupun hati ini meratap) Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung, dan sama-sama bisa menjaga dirinya, hingga ke Pelaminan,,Insyaallah.
Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, dibalik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem anyem, orang tua Ranu yang salah satu anggota di DP….!! itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya, namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun diluar persetujuan orang tua Ranu, dan secara otomatis Ranu, diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi, setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekan Baru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah tidak ada, (semenjak Mimi di bangku SMA, orang tuanya kecelakaan). Untuk mengadu nasibnya menuju ke Pekan Baru " Kota Bertuah" Istilah si Mimi dan Ranu.
Saya hanya dipamiti sekejap, tanpa bisa berkata-kata,
hanya saling bersidekap tangan didada dan terharu panjang, Mimi
menitipkan salam untuk Ibu yang sudah dianggapnya seperti Ibunya
sendiri.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya “Ranu”, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju "Kota Bertuahnya" Pekan Baru.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar, hingga tahun kelima, dimana saya masih membujang dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya, lagi.
Bahkan Ibuku yang sudah berhijrah hampir tiga tahun ini di Pekan Baru tempat kakakku juga tidak bisa melacak keberadaan Mimi, Mimi lenyap ditelan bumi, hanya doa saya dan Ibu serta sahabat-sahabat yang lain yang masih rutin kami panjatkan, untuk keberuntungan Mimi di sana.
Sampai di suatu siang yang terik, di hari sabtu, kebetulan saya berada dirumah karena kantor memang libur dihari sabtu dan minggu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketokan pintu dikamar, mbak "Inul" patner kerja (alias Pembantu) kami mengabarkan ada tamu dari Pekan Baru, siapa gerangan pikir saya ketika itu.
Setelah saya temui, lama sekali saya memeperhatikan tamu tersebut, perempuan cantik berkulit putih, tapi bajunya sangat lusuh beserta ketiga anaknya, yang dua laki-laki kurus, bermata cekung terlihat sangat kelelahan, dan seorang bayi mungil dalam gendongan.
Sejenak saya tertegun, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkan saya " Faris….Faris khan !", sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkul saya, sambil terisak keras dibahu saya, saat itu saya hanya bisa diam tertegun dan tak tahu mau melakukan apa, dan saya tidak bisa menepis karena hal ini bukan muhrimnya.
Lalu setelah ia puas menangis, pelukan itu baru lepas, ketika kami dikejutkan oleh tangis bayi Mimi yang keras, yang rupanya tanpa kami sadari telah menyakitinya, dan menekan bayi itu dalam pelukan kami. Masyaallah !.semoga Allah mengampuni…..
Saya menjauhkannya dari bahu saya sambil masih ragu, berguman pelan "Mimi…Mimikah ?" Masyaallah…!, sekarang giliran saya yang ingin merangkul Mimi, tapi karena syari’at masih membayang dibatin. Aku hanya bisa bersidekap tangan didada tanpa bisa meluapkan perasaanku melihat kondisinya. Anak-anak Mimi yang melihat kami hanya termangu,
Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas, badannya kurus, dengan jilbab lusuh, yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah cuil dibeberapa bagian, mungkin karena gesekan atau juga benturan berkali-kali, seperti orang yang telah berjalan berpuluh-puluh kilometer.
Tanpa dikomando saya langsung mempersilahkan Mimi masuk kedalam rumah, membantu membawakan barang-barangnya, dibantu mbak Inul, meletakkan barangnya di ruang tamu, rumah saya.
Menunda beberapa pertanyaan yang telah menggunung dipikiran saya, Saya menatap dalam-dalam, Mimi sedemikian berubahnya, perempuan manis yang dulu saya kenal kini terlihat sangat berantakan, Masyaallah !, Mimi …ada apa denganmu!.
Saya menunda pertanyaan saya, hingga Mimi dan anak-anaknya mau saya paksa beristirahat beberapa hari dirumah saya, ia tidur dikamar ibu yang sudah dirapikan mbak Inul, saya rindu padanya, dan juga terharu melihat keadaannya.
Beberapa hari beristirahat dirumah saya, saya baru berani menanyakan tentang kabar keadaannya sekarang. Kami duduk diruang tamu sambil cerita ringan.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat saya tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, saya menghela nafas dalam, menunggu jawabannya lama, dalam hitungan menit hingga keluarlah suara parau dari mulutnya…
"Mas Ranu, Ris….sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu".
"Oh" desah saya pelan, kata-kata Mimi membuat saya tercekat beberapa saat, namun sebelum saya sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil setengah meracau "Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah, keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri khan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu, aku bekerja serabutan di Pekan Baru, Ris.., mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dsb, hingga Mas Ranu meninggal, keluarganya, hanya memberiku uang sekedarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib disana Ris…." Kata-kata Mimi berhenti disini, disambut isak tangisnya, sedang saya yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Setelah kami sama-sama tenang, saya bertanya pada Mimi " Lalu apa rencanamu, Mimi ?".
Mimi tertegun… dia memandang saya nanar, saya menundukkan pandangan, karena saya takut terbawa rayuan syetan. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, "Sisa hartanya " begitu kata Mimi.
"Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris..".
Aku yang menahan haru, sontak mataku langsung mengalirkan sesuatu, walaupun aku lelaki, namun hati ini bertindak sebagai makhluk tuhan yang berperasaan. kembali kami hanyut dalam haru.
Pelan-pelan saya, meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiran saya melayang menuju sisa uang saya di amplop, dalam tas, Jum’at kemarin saya baru saja mendapat lembur-an, sebagai pegawai di suatu instansi, nilai lembur saya sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uang saya, saya mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua saya infaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.
Mimi menatap amplop di tangan saya, sejurus kemudian saya meletakkan amplop tersebut diatas meja sambil berkata "Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya, biar saya pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha"
Keesokan harinya, saya menjual kalung Mimi, pada sahabat baik saya yang lain, kebetulan ia seorang pemodal-muslim, yang baik hati,.. "Thanks ya Hans".., saya menceritakan tentang keadaan Mimi pada mereka, Hans dan Istrinya banyak membantu " Ya Allah limpahilah berkah pada orang-orang baik seperti mereka".
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil didekat rumah saya, Alhamdulillah !, sekarang ditahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil, Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa saya contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Kuat karena Mimi enggan bergantung pada orang lain, dan tegar karena diterpa cobaan bertubi-tubi, Mimi tetap, kokoh, dan tidak bergeming sedikitpun, dia juga Smart, tahu dimana dia harus meminta pertolongan pada orang yang tepat, dan tentu saja muslimah yang taat beribadah, hingga Allah pun tak enggan membantunya.
Saya hanya berpikir dan yakin pasti ada jutaan Mimi-Mimi, diluar sana, akan tetapi pastinya sangat jarang yang melampui cobaan bertubi-tubi seperti dirinya dengan Indahnya.
Saya hanya ingin berbagi…..cobalah kita lihat, Mimi tetangga saya kini dan setiap pagi selalu menyapa riang saya, wajah cantiknya kembali bersinar, meskipun ia menyandang status janda. Yang kemudian dia tekun mendengar keluh kesah saya pada setiap permasalahan saya hadapi setiap harinya, termasuk ketika saya mulai mengeluh tidak betah dikantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika saya menghadapi badai kemelut usia yang yang sudah berkepala tiga, apa kata Mimi
"Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak".
Subhanallah ! Mimi, contoh kekuatan wanita muslimah, ada disana.
Dan jika saya sudah menyerah kalah pada permasalahan bertubi-tubi dalam hidup saya, maka Mimi membawa saya menuju pintu rumah mungilnya, didepan pintunya, saya melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak, (sungguh rumah yang mungil) mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, dan juga tempat tidur gulung kecil dibawahnya, tempat si sulungnya tidur, kemudian katanya, "Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menajalaninya, Ris, sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang ".
Duh, gusti betapa baik hati Mimi ini, betapa malu saya dihadapannya, cobaan saya, tentu jauh lebih ringan dibanding dirinya, tapi betapa saya jarang bersyukur, sering mengeluh, dan sering merasa kurang.
"Stupid mind in the Stupid ordinary " Yang jelas watak Mimi dan kekuatannya menumbuhkan satu prinsip dihati saya bahwa " Karena aku adalah lelaki, aku harus kuat dan tegar lebih dari wanita ini dalam menghadapi badai sekeras apapun, jika mungkin jauh lebih kuat dan tegar demi tangan-tangan mungil yang mungkin akan menjadi tangan-tangan perkasa yang siap mencengkram dunia, Insyaallah Amien"
Singkat cerita, saya pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang saya bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja saya melintas didepan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta dihatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Dalam hati, Mimi bertakbir dan bertahmid melihat kekuasaan Allah..
Allahu Akbar….
Seorang sahabat, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD), selama beberapa tahun itu saya mengenalnya, sangat mengenalnya, Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya, termasuk saya’. dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat sholehah, yang patuh pada kedua orang tuanya.
Tetapi Ranu, Don Juan yang satu ini juga sangat menyukai Mimi, track recordnya tidak menggoyahkannya untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran.
Setiap pagi hari, petugas rutin kantor pos pasti sudah nangkring di sudut rumah besar di ujung gang kampung kami, (rumah Mimi).
Menunggu pemilik rumah membukakan pintu demi dilewati selembar surat warna merah jambu milik Ranu untuk sang pujaan hatinya.
Sedang Mimi yang semula tak bergeming, menjadi kian berbunga-bunga diserang ribuan rayuan gombal milik don juan.
Merekapun pacaran dari mulai kelas 1 SMP bayangkan, hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus teman yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut. (walaupun hati ini meratap) Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung, dan sama-sama bisa menjaga dirinya, hingga ke Pelaminan,,Insyaallah.
Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, dibalik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem anyem, orang tua Ranu yang salah satu anggota di DP….!! itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya, namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun diluar persetujuan orang tua Ranu, dan secara otomatis Ranu, diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi, setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekan Baru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah tidak ada, (semenjak Mimi di bangku SMA, orang tuanya kecelakaan). Untuk mengadu nasibnya menuju ke Pekan Baru " Kota Bertuah" Istilah si Mimi dan Ranu.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya “Ranu”, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju "Kota Bertuahnya" Pekan Baru.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar, hingga tahun kelima, dimana saya masih membujang dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya, lagi.
Bahkan Ibuku yang sudah berhijrah hampir tiga tahun ini di Pekan Baru tempat kakakku juga tidak bisa melacak keberadaan Mimi, Mimi lenyap ditelan bumi, hanya doa saya dan Ibu serta sahabat-sahabat yang lain yang masih rutin kami panjatkan, untuk keberuntungan Mimi di sana.
Sampai di suatu siang yang terik, di hari sabtu, kebetulan saya berada dirumah karena kantor memang libur dihari sabtu dan minggu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketokan pintu dikamar, mbak "Inul" patner kerja (alias Pembantu) kami mengabarkan ada tamu dari Pekan Baru, siapa gerangan pikir saya ketika itu.
Setelah saya temui, lama sekali saya memeperhatikan tamu tersebut, perempuan cantik berkulit putih, tapi bajunya sangat lusuh beserta ketiga anaknya, yang dua laki-laki kurus, bermata cekung terlihat sangat kelelahan, dan seorang bayi mungil dalam gendongan.
Sejenak saya tertegun, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkan saya " Faris….Faris khan !", sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkul saya, sambil terisak keras dibahu saya, saat itu saya hanya bisa diam tertegun dan tak tahu mau melakukan apa, dan saya tidak bisa menepis karena hal ini bukan muhrimnya.
Lalu setelah ia puas menangis, pelukan itu baru lepas, ketika kami dikejutkan oleh tangis bayi Mimi yang keras, yang rupanya tanpa kami sadari telah menyakitinya, dan menekan bayi itu dalam pelukan kami. Masyaallah !.semoga Allah mengampuni…..
Saya menjauhkannya dari bahu saya sambil masih ragu, berguman pelan "Mimi…Mimikah ?" Masyaallah…!, sekarang giliran saya yang ingin merangkul Mimi, tapi karena syari’at masih membayang dibatin. Aku hanya bisa bersidekap tangan didada tanpa bisa meluapkan perasaanku melihat kondisinya. Anak-anak Mimi yang melihat kami hanya termangu,
Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas, badannya kurus, dengan jilbab lusuh, yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah cuil dibeberapa bagian, mungkin karena gesekan atau juga benturan berkali-kali, seperti orang yang telah berjalan berpuluh-puluh kilometer.
Tanpa dikomando saya langsung mempersilahkan Mimi masuk kedalam rumah, membantu membawakan barang-barangnya, dibantu mbak Inul, meletakkan barangnya di ruang tamu, rumah saya.
Menunda beberapa pertanyaan yang telah menggunung dipikiran saya, Saya menatap dalam-dalam, Mimi sedemikian berubahnya, perempuan manis yang dulu saya kenal kini terlihat sangat berantakan, Masyaallah !, Mimi …ada apa denganmu!.
Saya menunda pertanyaan saya, hingga Mimi dan anak-anaknya mau saya paksa beristirahat beberapa hari dirumah saya, ia tidur dikamar ibu yang sudah dirapikan mbak Inul, saya rindu padanya, dan juga terharu melihat keadaannya.
Beberapa hari beristirahat dirumah saya, saya baru berani menanyakan tentang kabar keadaannya sekarang. Kami duduk diruang tamu sambil cerita ringan.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat saya tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, saya menghela nafas dalam, menunggu jawabannya lama, dalam hitungan menit hingga keluarlah suara parau dari mulutnya…
"Mas Ranu, Ris….sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu".
"Oh" desah saya pelan, kata-kata Mimi membuat saya tercekat beberapa saat, namun sebelum saya sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil setengah meracau "Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah, keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri khan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu, aku bekerja serabutan di Pekan Baru, Ris.., mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dsb, hingga Mas Ranu meninggal, keluarganya, hanya memberiku uang sekedarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib disana Ris…." Kata-kata Mimi berhenti disini, disambut isak tangisnya, sedang saya yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Setelah kami sama-sama tenang, saya bertanya pada Mimi " Lalu apa rencanamu, Mimi ?".
Mimi tertegun… dia memandang saya nanar, saya menundukkan pandangan, karena saya takut terbawa rayuan syetan. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, "Sisa hartanya " begitu kata Mimi.
"Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris..".
Aku yang menahan haru, sontak mataku langsung mengalirkan sesuatu, walaupun aku lelaki, namun hati ini bertindak sebagai makhluk tuhan yang berperasaan. kembali kami hanyut dalam haru.
Pelan-pelan saya, meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiran saya melayang menuju sisa uang saya di amplop, dalam tas, Jum’at kemarin saya baru saja mendapat lembur-an, sebagai pegawai di suatu instansi, nilai lembur saya sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uang saya, saya mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua saya infaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.
Mimi menatap amplop di tangan saya, sejurus kemudian saya meletakkan amplop tersebut diatas meja sambil berkata "Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya, biar saya pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha"
Keesokan harinya, saya menjual kalung Mimi, pada sahabat baik saya yang lain, kebetulan ia seorang pemodal-muslim, yang baik hati,.. "Thanks ya Hans".., saya menceritakan tentang keadaan Mimi pada mereka, Hans dan Istrinya banyak membantu " Ya Allah limpahilah berkah pada orang-orang baik seperti mereka".
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil didekat rumah saya, Alhamdulillah !, sekarang ditahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil, Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa saya contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Kuat karena Mimi enggan bergantung pada orang lain, dan tegar karena diterpa cobaan bertubi-tubi, Mimi tetap, kokoh, dan tidak bergeming sedikitpun, dia juga Smart, tahu dimana dia harus meminta pertolongan pada orang yang tepat, dan tentu saja muslimah yang taat beribadah, hingga Allah pun tak enggan membantunya.
Saya hanya berpikir dan yakin pasti ada jutaan Mimi-Mimi, diluar sana, akan tetapi pastinya sangat jarang yang melampui cobaan bertubi-tubi seperti dirinya dengan Indahnya.
Saya hanya ingin berbagi…..cobalah kita lihat, Mimi tetangga saya kini dan setiap pagi selalu menyapa riang saya, wajah cantiknya kembali bersinar, meskipun ia menyandang status janda. Yang kemudian dia tekun mendengar keluh kesah saya pada setiap permasalahan saya hadapi setiap harinya, termasuk ketika saya mulai mengeluh tidak betah dikantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika saya menghadapi badai kemelut usia yang yang sudah berkepala tiga, apa kata Mimi
"Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak".
Subhanallah ! Mimi, contoh kekuatan wanita muslimah, ada disana.
Dan jika saya sudah menyerah kalah pada permasalahan bertubi-tubi dalam hidup saya, maka Mimi membawa saya menuju pintu rumah mungilnya, didepan pintunya, saya melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak, (sungguh rumah yang mungil) mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, dan juga tempat tidur gulung kecil dibawahnya, tempat si sulungnya tidur, kemudian katanya, "Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menajalaninya, Ris, sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang ".
Duh, gusti betapa baik hati Mimi ini, betapa malu saya dihadapannya, cobaan saya, tentu jauh lebih ringan dibanding dirinya, tapi betapa saya jarang bersyukur, sering mengeluh, dan sering merasa kurang.
"Stupid mind in the Stupid ordinary " Yang jelas watak Mimi dan kekuatannya menumbuhkan satu prinsip dihati saya bahwa " Karena aku adalah lelaki, aku harus kuat dan tegar lebih dari wanita ini dalam menghadapi badai sekeras apapun, jika mungkin jauh lebih kuat dan tegar demi tangan-tangan mungil yang mungkin akan menjadi tangan-tangan perkasa yang siap mencengkram dunia, Insyaallah Amien"
Singkat cerita, saya pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang saya bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja saya melintas didepan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta dihatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Dalam hati, Mimi bertakbir dan bertahmid melihat kekuasaan Allah..
Allahu Akbar….
Label: Cerpen Islami
Cerpen Rudi Al-Farisi
Malam yang dingin itu, lutfi masih saja asyik dengan kebiasaan lamanya. Mabuk mabukan, judi dengan ditemani wanita seksi, sudah biasa dalam kehidupannya. Disaat semua orang terlena dengan mimpi mimpi tidurnya, ia malah makin nikmat dengan permainan maksiatnya.
Tiba tiba hp nya berdering tanda sms masuk.
Sebentar kawan…ucap lutfi.
Segera pulang,
istrimu sedang dirumah sakit,
ia akan melahirkan.
Spontan ia terkejut. Lalu bergegas menghidupkan sepeda motornya. Sampai dirumah sakit. Mertuanya langsung menyemprot nya dengan bumbu bumbu ceramah. Ia tak ambil pusing, segera saja ia bertanya kepada dokter tentang keadaan istrinya.
Lutfi memang termasuk bandit. Semua orang mengetahuinya. Tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada sang istri yang begitu sabar menghadapi sifat bejatnya.
Pernah suatu ketika, ia tertangkap oleh polisi dan dipenjara beberapa bulan. Hanya istrinya yang selalu setia menjenguk dan membawakan makanan ke penjara. Guna menjaga gizi sang suami tercinta. Itu terjadi pada saat bulan kedua pernikahannya.
Dok. Gimana kondisi istriku…” Tanya lutfi pada dokter.
Tenang pak.. istri bapak besok akan segera kita operasi. Air ketubannya sudah kering. Sekarang kita bantu dengan infus, kita akan persiapkan semuanya. Tolong pak, diurus administrasinya”. Jelas dokter.
Baik pak.. saya minta tolong pak, berikan yang terbaik untuk istri saya..”.
Melihat suasana itu, mertuanya terlihat luluh, memang lutfi dikenal masyarakat sebagai pemuda yang brandal, mungkin karena umurnya yang masih muda, tetapi didalam relung hatinya, ia sangat mencintai istrinya.
* * * *
Didepan kamar operasi, keluarga dan tetangga dekat telah menunggu apa yang akan terjadi. Tiba tiba pintu ruang operasi terbuka, setelah dua jam mereka menunggu.
Siapa ayahnya,,” suara perawat memecah kerisauan.
Saya mbak..” jawab lutfi spontan.
Selamat pak,,,” anak bapak laki laki.. ucap suster.
ALHAMDULILLAHHHH”. Teriak serentak diruangan itu.
“ Istri saya gimana mbak…
“ Tenang pak,,lagi dalam pemulihan, ia tak apa apa. Masih dalam efek bius. Lebih baik bapak ikut saya keruang incubator, biar sikecil langsung di azankan. Jelas mbak perawat.
Azan”..teriak halus bibirnya.
Seketika mendengar seruan untuk mengazankan anaknya. Sontak kaki lutfi kaku bagai tak ada refleks untuk bergerak. Ia diam membisu, bibirnya gemetar, ia bingung dengan apa yang terjadi. Keluarga yang melihat kejadian itu, tidak begitu kaget, karena lutfi dikenal sebagai sosok yang tak tahu soal agama.
Sholat aja tak pernah apalagi bacaannya”. Celetuk bibir usil salah satu keluarga.
“ Ba…baik mbak..” jawab lutfi terbata.
Di ruang incubator, lutfi mengumandangkan azan ditelinga kanan putranya. Ia memang tak pernah sholat, tapi ia sering mendengar suara azan berkumandang di mesjid dekat rumahnya. Ia masih ingat nada nada seruan sholat itu, walaupun tidak tau artinya tapi ia ingat betul urutannya.
“ ALLAHU AKBAR…ALLAHU AKBAR..”
“ LAAILAHAILLALLAHU..”
Keluarga yang sedang penasaran ingin melihat sang bayi, tepat didepan pintu ruang incubator terkejut, heran, kagum, haru, menyaksikan suasana itu. Bisa juga ya… anak itu azan”. Celetuk bibir ibu mertuanya.
Lutfi yang terdiam kaku melihat wajah bayi mungil itu, tak terasa matanya basah meneteskan air bening hingga membasahi pipinya, kakinya kaku bagai dipasung, badannya oleng tak seimbang hingga akhirnya ia roboh, membentuk posisi sujud kepada Rabb nya. Ia bingung dengan kondisi dirinya.
“ apa yang terjadi…lirih hatinya kebingungan.
Keluarganya diluar lebih kaget melihat lutfi dengan posisi sujud itu. Adik ipar yang hendak masuk untuk menolong abang iparnya itu dilarang pak mansyur tetangga lutfi yang ikut menjeguk.
Biarkan saja, hidayah ALLAH sedang berproses pada dirinya. Jawab pak mansyur, takmir mesjid dekat rumahnya.
Keluarga, tetangga dan para penjeguk dari teman temannya, haru terdiam melihat suasana itu. Malah ibu mertuanya menangis menyaksikan peristiwa itu.
Lutfi masih sujud, air matanya sudah menggenangi lantai ruangan itu. Sudah sepuluh menit ia dibiarkan begitu, tubuhnya yang masih lemas tiba tiba bangkit mendengar tangisan putranya, seakan putranya tahu kondisi ayahnya. Dan menangis memecah suasana. Tangisan itulah yang membawa cahaya bagi hidupnya.
Label: Cerpen Islami
Di stasiun kereta api
bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5
pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini
memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju
masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti
salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun
yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang
kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah
perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku
masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi
itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku
menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga
hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak
beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit
keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal,
pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal
yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali
ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia
bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu
seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba
rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin
menyesal.
Sebenarnya
aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di
sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua
puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di
negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan
sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah
hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku
menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota
kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam
rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih
tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika
aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku
kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak
perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena
aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku
berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada
akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing.
Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan
dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk
rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu
banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang
bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak
tuntutan.
Namun
ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah
aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian
diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus
rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja,
aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres
yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu,
sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke
dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan
sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir
semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan
melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan
tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi
ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali
berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya
betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu
dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar.
Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan
musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan
dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir
ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan.
Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak
mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu,
maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.
Cahaya
matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru
ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang.
Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi
pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku
teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa
dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak
terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka
sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang
banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun
terhadap orang tua.
Aku
sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin
padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan
dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas
membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau
selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja.
Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya.
Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari
pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam
gelisah.
Riko
juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan
sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat
bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu
buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak
membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di
rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah.
Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun
memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja
dan keluarga.
Melihat
anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku
alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku
jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak
ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku
menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku
mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan
ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari
dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan
yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium
tangan ibu....
Di
luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan,
semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin
kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap
sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu
sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah
malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa
buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah
sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass
di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam
perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu
seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area,
membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi
kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak
yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil
berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan
putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya
belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku
meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini
memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku
lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah
membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya.
Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua
hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah
berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih
seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu,
tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang
berubah, ibu...
Wajah
ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu
tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak
sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini
datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan
dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku
membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku
rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami
berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air
mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu
pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.."
ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku
selama ini.
Label: Cerpen Islami
Kisah Rasulullah mendapatkan LAILATUL QADAR di Malam ke 27
Diposting oleh Sugeng Riyadi di Jumat, Agustus 17, 2012
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sedang duduk i’tikaf semalam suntuk
pada hari-hari terakhir Bulan Suci Ramadhan. Para sahabat pun tidak
sedikit yang mengikuti apa yang dilakukan Nabi SAW ini. Beliau berdiri
shalat mereka juga shalat, beliau menegadahkan tangannya untuk berdo’a
dan para sahabatpun juga serempak mengamininya. Saat itu langit mendung
tidak berbintang. Angin pun meniup tubuh-tubuh yang memenuhi masjid.
Dalam riwayat tersebut malam itu adalah malam ke-27 dari Bulan Ramadhan.
Disaat Rasulullah SAW dan para sahabat sujud, tiba-tiba hujan turun
cukup deras. Masjid yang tidak beratap itu menjadi tergenang air hujan.
Salah seorang sahabat ada yang ingin membatalkan shalatnya, ia bermaksud
ingin berteduh dan lari dari shaf, namun niat itu digagalkan karena dia
melihat Rasulullah SAW dan sahabat lainnya tetap sujud dengan khusuk
tidak bergerak. Air hujan pun semakin menggenangi masjid dan membasahi
seluruh tubuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada di dalam
masjid tersebut, akan tetapi Rasulullah SAW dan para sahabat tetap sujud
dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.
Beliau basah kuyup dalam sujud. Namun sama sekali tidak bergerak.
seolah-olah beliau sedang asyik masuk kedalam suatu alam yang melupakan
segala-galanya. Beliau sedang masuk kedalam suatu alam keindahan. Beliau
sedang diliputi oleh cahaya Ilahi. Beliau takut keindahan yang beliau
saksikan ini akan hilang jika beliau bergerak dari sujudnya. Beliau
takut cahaya itu akan hilang jika beliau mengangkat kapalanya. Beliau
terpaku lama sekali di dalam sujudnya. Beberapa sahabat ada yang tidak
kuat menggigil kedinginan. Ketika Rasulullah SAW mengangat kepala dan
mengakhiri shalatnya, hujan pun berhenti seketika.
Anas bin Malik, sahabat Rasulullah SAW bangun dari tempat duduknya
dan berlari ingin mengambil pakaian kering untuk Rasulullah SAW. Namun
beliau pun mencegahnya dan berkata “Wahai anas bin Malik, janganlah
engkau mengambilkan sesuatu untukku, biarkanlah kita sama-sama basah,
nanti juga pakaian kita akan kering dengan sendirinya. ” Anas pun duduk
kembali dan mendengarkan dengan seksama cerita Rasulullah SAW mengapa
beliau begitu lama bersujud. Masya Allah….ternyata ketika tadi
Rasulullah SAW, dan disaat hujan mulai turun, disaat itu pula malaikat
dibawah pimpinan jibril turun dalam keindahan dan bentuk aslinya. Mereka
berbaris rapi dengan suara gemuruh tasbih dan tahmid mereka bergema
dilangit dan dibumi serta alam semesta saat itu dipenuhi dengan cahaya
ilahi. Inilah yang membuat Rasulullah SAW terpaku menyaksikan keindahan
dan cahaya yang sama sekali tidak pernah dilihat oleh mata. Gema tasbih
dan tahmid malaikat yang tak pernah didengar oleh telinga dan suasana
yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh pikiran manusia.
Itulah lailatul qadar. Tahukah kalian, apakah Lailatul Qadar ?
Lailatul qadar yang sesaat itu lebih baik dari pada seribu
bulan. Di malam itu, para malaikat dibawah pimpinan Jibril turun atas
izin Allah SWT, mereka menebarkan kedamaian, keselamatan, kesejahteraan
dan mengatur segala urusan, mereka menyampaikan salam sampai terbitnya
fajar keseluruh semesta alam.
Sekarang Kita sudah hampir mencapai puncak terakhir dari Bulan
Ramadhan, dan dipuncaknya kita mendapatkan pembebasan dari api neraka.
Pada malam-malam terakhir, para malaikat turun dari langit untuk
menaburkan kasih sayang Allah SWT kepada para hambanya dan menyampaikan
salam kepada kaum beriman hingga terbitnya fajar, itulah yang dinamakan
lailatul qadar, malam yang lebih afdhal daripada seribu malam.
Lailatul Qadar adalah malam kebesaran Allah SWT, malam
keagungan-Nya, malam pengampunan-Nya, malam yang dimiliki-Nya untuk
memberi maaf kepada para pembuat dosa dan menebarkan kasih sayang kepada
para hamba-Nya. Dilangit ada kerajaan sangat besar yang mengatur dan
mencatat segala amal manusia dimuka bumi ini. Ketika para malaikat
melihat kitab catatan amal manusia, mereka iri dengan amal yang hanya
khusus dilakukan penduduk bumi dimalam-malam lailatul qadar. Malaikat
pun tidak ada yang dapat menirunya. Salah satu di antaranya adalah
rintihan taubat para pembuat dosa yang kemudian diampuni segala
dosa-dosanya.
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadist qudsi: “Aku lebih suka
mendengarkan rintihan para pembuat dosa ketimbang gemuruh suara tasbih.
Karena gemuruh suara tasbih hanya menyentuh kebesaranKu, sedangkan
rintihan para pembuat dosa menyentuh kasih sayangKu.”
YA ALLAH… Kami datang mengemis dihadapan pintuMu.
YA ALLAH… Kami datang dengan deraian air mata, merengek dan memohon kasih sayang serta pengampunan-Mu yang begitu luas.
YA ALLAH… Jika pada bulan yang mulia ini, Engkau hanya menyayangi
orang-orang yang mengikhlaskan shiam dan qiyamnya, maka siapa lagi yang
menyayangi kami yang tenggelam dalam kubangan dosa dan kemaksiatan ini.
YA ALLAH… Jika Engkau hanya mengasihi orang-orang yang menaatiMu,
maka siapa yang akan mengasihi kami yang berlumuran dengan dosa dan
maksiat ini.
YA ALLAH… Jika Engkau hanya menerima orang-orang yang tekun dalam
beramal, maka siapa yang akan menerima orang-orang yang malas seperti
kami ini.
YA ALLAH… Beruntunglah orang-orang yang berpuasa dengan
sebenar-benarnya. Berbahagialah orang-orang yang shalat malam dengan
sebaik-baiknya. Selamatkanlah orang-orang yang beragama dengan tulus.
Sedangkan kami adalah hamba-hambaMu yang hanya bisa berbuat dosa dan
maksiat. Sayangilah kami dengan kasihMu. Bebaskanlah kami dari api
neraka dengan ampunanMu. Ampunilah dosa-dosa kami dengan kasih sayangMu.
Wahai Yang Paling Penyayang dari semua yang Menyayangi, sayangilah
kami.
YA ALLAH… Tuangkanlah kesabaran atas diri kami, kokohkanlah pendirian
kami dan tolonglah kami terhadap gangguan orang-orang kafir, baik itu
gangguan dzahir maupun batih.
YA ALLLAH… Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dan bersalah.
YA ALLAH… Janganlah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
YA ALLAH… Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa-apa yang kami tak
sanggup memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah
kami. Engkau sebenar-benarnya penolong kami.
YA ALLAH… Ampunilah dosa-dosa dan tindakan-tindakan yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian-pendirian
kami dalam barisan iman dan islam.
YA ALLAH…Janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi orang
kafir. Dan ampunilah kami Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkaulah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
YA ALLAH…Janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan,
padahal Engkau sudah memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisiMu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi
Karunia.
YA ALLAH…Kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat karena Engkau adalah sebaik-baiknya Pemberi Rahmat.
YA ALLAH…Sempurnakanlah cahaya bagi kami, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
YA ALLAH…Terimalah amalan-amalan kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
YA ALLAH…Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari dahsyatnya siksaan neraka.
YA ALLAH… Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksaan neraka yang sangat pedih.
YA ALLAH… Jauhkan azab jahanam dari kami, karena sesungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal.
YA ALLAH…Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukan ke dalam
neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolongpun.
YA ALLAH…Kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, siapa lagi yang
akan memaafkan dan mengampuni kami Ya Allah. Jika tidak ada maaf dan
ampunanMu niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.
YA ALLAH…Anugrahkanlah kepada kami, istri-istri dan keturunan yang
dapat menyenangkan dan menggembirakan hati kami dan jadikanlah kami
sebagai orang-orang yang bertakwa.
YA ALLAH…Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan.
Kami telah mengikuti RasulMu Muhammad, karena itu masukkanlah kami ke
dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.
YA ALLAH…Kami sadar bahwa amal-amal kami didunia hanya sedikit dan
kami selalu menyalahi apa-apa yang telah Engkau tetapkan, akan tetapi
janganlah Engkau hinakan kami dari hari kiamat kelak, sesungguhnya
Engkau tidak menyalahi janji.
YA ALLAH…Ampunilah kami serta kedua orang tua kami, saudara-saudara
kami, anak dan isteri kami dan sekalian orang-orang mukmin pada hari
terjadinya hari dimana Engkau menghisab semua amal-amal kami selama di
dunia.
YA ALLAH…Berikanlah rahmat kepada kami dari sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam segala urusan kami.
YA ALLAH…Jadikanlah kami dan keturunan kami sebagai orang-orang yang tetap mendirikan shalat.
YA ALLAH…Dengarkanlah dan kabulkanlah semua do’aku.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan atas junjunganMu Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Amin….
Diambil dari BUKU KADO DARI KOTA NABI
PENULIS : HASAN HUSEIN ASSEGAF
PENERBIT: PUSTAKA BASMA
CET:I: JANUARI 2010
Label: Kisah Rosulullah
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)